BATIK di Indonesia adalah industri warisan budaya bangsa yang berbasis kerakyatan. Batik bisa menjadi seperti sekarang, karena semangat orientasi kerakyatannya sangat tinggi. Jika tidak ada semangat ini, barangkali sudah lama ditelan bumi. Kalau premis ini dapat kita yakini kebenarannya, maka dari aspek budi daya dan pengembangannya berdasarkan hukum nasional secara ekplisit harus dinyatakan bahwa kegiatan pembatikan hanya dapat diusahakan seratus persen oleh warga negara Indonesia.
Aspek perlindungan, pembinaan, dan pengembangannya menjadi sesuatu yang penting agar spirit kerakyatan pada industri batik tidak memudar. Setiap daerah yang sentra industri batiknya sekarang ini tumbuh harus memiliki orientasi yang sama dalam rangka melindungi, membina, dan mengembangkan industri batik yang berbasis budaya dan kerakyatan. Masing-masing daerah sebaiknya dapat mengaturnya dalam bentuk peraturan daerah. Di dalamnya termasuk memberikan penegasan bahwa setiap sentra batik yang ada dapat dinyatakan sebagai kawasan cagar budaya dan cagar usaha batik.
Langkah ini perlu ditempuh sebagai perwujudan dari diakuinya batik Indonesia masuk ke dalam representative list of the intangible cultural heritage of humanity Unesco pada tanggal 29 September 2009. Lebih lanjut kemudian pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009 menetapkan setiap tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Kedua keputusan penting tersebut merupakan tonggak sejarah kebangkitan kembali batik Indonesia.
Iwan Tirta semasa hidupnya mengingatkan bahwa batik Indonesia selalu dihubungkan dan memilki keterkaitan yang erat dengan keris, wayang (keduanya sebagai mata budaya tak benda Indonesia sudah mendapat pengakuan Unesco), gamelan dan ukiran. Kalau eksistensi batik Indonesia sebagai usaha kerakyatan dibiarkan hidup dalam ekonomi pasar, maka yang terjadi seperti sekarang ini, yakni oleh sebagian besar masyarakat, batik telah menjadi komoditas layaknya tekstil biasa.
Tantangannya tidak ringan jika batik akan kita tempatkan posisi dominannya sebagai warisan budaya karena keunikan batik sebagai komoditas dalam realitas pasar telah berhasil mengambil hati rakyat sebagai adi busana harian dan keperluan lainnya.
Rekayasa Ekonomi
Kecenderungan ini tidak bisa dinafikkan dan harus bisa diterima, karena kita telah berhasil melakukan rekayasa ekonomi yang membawa keberkahan bagi para perajin batik dapat mengais rezeki dari usaha batik yang ditekuninya. Oleh sebab itu, dalam rangka perlindungan, pembinaan, dan pengembangan batik Indonesia di masa yang akan datang, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah (pusat/daerah) bersama komunitas batik.
Pertama, yang berkaitan dengan pengisian konten batik sebagai warisan budaya akan diposisikan di mana dan seperti apa dalam khasanah batik Indonesia. Kedua, yang berkaitan dengan posisi batik sebagai komoditas yang orientasinya adalah bisnis dan pasar.
De facto, dalam masyarakat batik Indonesia sejatinya ada dua komunitas yang keduanya patut diberi hak untuk tumbuh dan berkembang, yakni yang berorientasi pada pengayaaan warisan budaya, dan pengayaan yang orientasinya bisnis. Panggungnya tidak bisa disatukan, karena misinya berbeda. Masing-masing oleh pemerintah pusat/daerah harus bisa memfasilitasi kedua komunitas batik yang berbeda misi dan tujuannya. Tapi, keduanya adalah tetap sebagai para pemain utama di dunia perbatikan Indonesia yang satu sama lain tidak bisa saling menafikkan, karena nilai kesejarahannnya terlahir sudah seperti itu, yakni ada karya budaya dan karya bisnis yang berorintasi pasar.
Nilai kesejarahannya berbasis pada kegiatan ekonomi kerakyatan sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi yang terdesentralisasi sesuai kearifan lokal masing-masing daerah. Agar prosesnya tetap dapat berjalan sesuai dengan semangat dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, maka komunitas batik Indonesia perlu mendapatkan dukungan pemerintah pusat/daerah dan lembaga pendidikan untuk menyongsong hari depan dalam semangat The Batik of Indonesia Incorporated.

(sumber)